Tuesday, September 18, 2012
Buku Pemrograman Mikrokontroller AtMega
Label:
avr
,
mikrokontroler
Lokasi:
Yogyakarta, Indonesia
Thursday, September 6, 2012
Sedang mengecat neh..
ha ini dia kegiatan siang tadi.. melanjutkan benah2 alat FDM.. adalah Alat uji water hammer dan juga alat uji pompa sentrifugal.. kita ketahui bahwa masalah paling merusak bagi logam adalah korosi, so untuk mengurangi resiko itu musti dilapis ato perlakuan terhadap permukaan logam, paling mudah dilakukan adalah dengan pengecatan, sebelum dicat tentunya permukaan harus bersih. cat yang tidak menempel sempurna juga akan menimbulkan titik korosi dan akan merambat. bersama Ipul yang sedang membuat projek akhir, ada juga si fauzi dan yang lainnya sedang diskusion.. ya tidak terlalu sepi lah, dan cukup kondusif untuk mengerjakan pengecatan gan..
Thursday, August 30, 2012
Rekondisi Bak Pompa Sentrifugal
Cerita hari ini 29 agustus 2012
Kegiatan hari ini begitu melelahkan namun menyenangkan sekali, kali ini mengerjakan tugas yang belum selesai yaitu memperbaiki alat praktikum. Jadi pada alat tersebut ada bagian penampung air atau sebuah bak air besar dengan ukuran panjang sekitar 1,5 meter dan lebar 1 meter tinggi 1 meter. Terbuat dari besi plat eyser yang disatukan dengan las. Merupakan alat yang dibuat oleh mahasiswa sebagai proyek akhir, dan selalnjutnya digunakan untuk praktikum mahasiswa teknik mesin uii. Seiring dengan bertambahnya usia pemakaian, tentu saja sebuah besi akan terkorosi sebagai akibat oksidasi dengan oksigen, apalagi plat tersebut bersentuhan dengan air, walaupun dilapis dengan cat, namun tetap saja terkorosi. sekitar 4 tahun alat tersebut digunakan.Sebagai akibat terkorosinya bak, akhirnya menimbulkan kebocoran yang tidak sedikit, titik-titik lubang mulai terbentuk dan terus menjalar hingga berlubang.. kali ini untuk mempertahankan alat tersebut tentunya bak harus dikondisikan untuk bisa difungsikan kembali. Langkah awal adalah proses pelepasan bak dari rangkakan alat yang lumayan sulit dilakukan karena pembuatan alat begitu pas, setelah terlepas bak pun dibersihkan dari kotoran dengan penyemprotan air. Begitu kotoran luar berkurang lapisan plat disikat dengan sikat baja dan juga dengan gerinda agar kerak2 dapat terlepas dan lubang-lubang pada plat dapat terlihat. Langkah ini membutuhkan keteguhan ketelatenan juga, pun demikian kehati-hatian dalan menggerinda juga diperlukan, bisa2 mata keca cipratan debu.. untuk mengurangi resiko saya gunakan alat pelindung seperti ear plug untuk meredam kebisingan, masker untuk menghalau debu dan kaca mata guna melindungi mata dari percikan.
Oke lanjut gan, akhirnya pembersihan dicukupkan dan langsung dilakukan penambalan lubang-lubang pada plat. Dengan menggunakan las acetilin dan bahan tambah dengan perlahan dilas, ada juga bagian yang lubangnya besar sehingga harus ditambah plat tambahan untuk menambalnya. Membutuhkan waktu hamper 2 jam untuk penambalan, istirahat bentar untuk lunch di okeiki bareng pak faizun gan, so lanjut pengelasan lagi, dan dapat diselesaikan. Untuk menambah kekuatan plat dan mengurangi resiko korosi selanjutnya dilapis dengan resin dan serat fiber glas.
Dan sudah menghabiskan ¾ kg resin untuk melapis bagian dasar bak, ya karena resin habis besok lagi dilakukan pelapisan..sore menjelang dan acara dicukupkan sampai disini. Persiapan pulang, absen dan menuju parkir motor, dan bertemu dengan rekan lab dan pulang bareng-bareng. Sambil menuju rumah saya sempatein untuk mengunjungi penjulan motor bekas di jombor gan, yang rencananya mencari motor untuk mas bro saya.. dan ternyata disana ada motor Kaze tahun 2003 penjual saya rasa terlalu tinggi mematok harga, masak saya dikasih harga 6 juta. Gelo aja gan.. mending dapet Zx.. yo dak? Cari tempat lain dan ternyata dah pada tutup, so dilanjut ke warung padang toh..tuku madang go babe..
Thursday, June 21, 2012
Kekalahan Tradisi Ruwahan
Adakah generasi muda Jawa kini yang tahu ruwahan? Jika ditanya tentang ruwahan generasi muslim Jawa banyak yang tahu, namun sering dijawab dengan “tapi” itu adalah tradisi Jawa sinkretis, bahkan tidak Islami. Tradisi ini hanya hidup di pedesaan yang masih kental tradisinya dan sedikit orang-orang tua yang masih menganggap ruwahan adalah tradisi bukan lagi bagian dari ritual ke-Islamannya. Padahal ruwahan adalah sebuah hasil “kejeniusan” orang Jawa dahulu kala dalam menafsirkan ajaran Islam.
Kini wacana purifikasi ke-Islaman ala Arab Saudi modern telah mewabah, melabeli semua hal yang dianggap tidak ke-Arab-an sebagai bidah. Perlahan namun pasti Islam Arab modern itu telah mengalahkan tradisi lokal dan satu persatu Islam kultural menuju kepunahan: tak akan ada lagi kemandirian dan kearifan lokal. Tulisan ini utamanya bertujuan untuk sekedar menjadi arsip bagi salah satu dari berbagai kearifan tradisi islam jawa yang terancam musnah, sekaligus mengajak kita merenungkan kembali relasi budaya dan agama macam apa yang seharusnya kita bentuk demi terciptanya masyarakat yang mandiri dan demokratis.
Semua rangkaian acara ruwahan ini bertolak dari keimanan pada Tuhan agar mereka yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) dan mengingat leluhur yang melahirkan kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana), seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran (ziarah kubur) di bulan Ruwah. Ini adalah pengejawahtahan dari hadis yang mengatakan bahwa satu dari amal yang tidak putus ketika orang telah meninggal adalah doa anak yang saleh. Adapun acara ritus bersih kampung, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: meugang) adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga sanak-saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.
Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Bahkan barangkali tradisi megengan inilah yang kemudian menciptakan pasar kaget ruwahan di kota-kota santri di Jawa seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus. Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih dewasa, dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.
Tak heran dahulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu. Pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan agar mereka dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. Tradisi ritus ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Ramadhan.
Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman ke-Islaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan. Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar yang biasanya setelah shalat Dhuhur atau Ashar dengan dilanjutkan slametan bersama di langgar atau masjid setempat.
Ritual slametan, kenduren, dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, ritus ini mendistribusikan rezeki dari perkotaan tempat mereka bekerja ke kota-kota kelahiran mereka, bahkan ke kampung-kampung di Jawa. Yang terakhir ritus-ritus ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah ritus yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menutup ritual puasa Ramadhan di Bulan Syawal nanti.
Wacana puritanisme (ingat tidak hanya Islam!) yang memandang ruwahan sebagai tradisi yang penuh semangat TBC dan berubahnya gaya hidup modern kapitalistik lambat-laun telah merubah wajah dan watak spirit tradisi ruwahan ini. Tidak hanya di Jawa, tradisi ruwahan yang dikenal di dunia Melayu Nusantara ini juga semakin luntur nilai-nilai kearifan lokalnya. Apalagi penyimpangan perilaku penghayat tradisi ini juga mulai terasa setelah kebutuhan untuk ritual ruwahan jatuh ke tempat kedua setelah berbelanja untuk slametan atau kenduren menjadi lebih utama sehingga harus berhutang. Satu poin fatal yang sering dijadikan alasan atas ketidak-beresan tradisi ini oleh kaum puritan dan modernis. Meski pada umumnya hal ini dikarenakan wacana ruwahan hanya diukur dari tradisi Islam Puritan dengan segala dakwaan otensitas dan kesakralan ajaran Islamnya. Ditambah lagi, wacana tersebut dikisruhkan dengan gaya hidup yang meng-komodifikasikan ritual megengan dan pasar kaget ruwahan. Akankah tradisi ruwahan Jawa akan dilupakan dan punah? Sejarah yang akan menjadi saksinya, namun paling tidak penulis telah mengarsipkannya di artikel ini bagi generasi Jawa yang akan datang.
Ary Budiyanto, pemerhati Budaya Islam Jawa. Mahasiswa S3 Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)-UGM, Yogyakarta. Staf Riset PSP UGM.
Kini wacana purifikasi ke-Islaman ala Arab Saudi modern telah mewabah, melabeli semua hal yang dianggap tidak ke-Arab-an sebagai bidah. Perlahan namun pasti Islam Arab modern itu telah mengalahkan tradisi lokal dan satu persatu Islam kultural menuju kepunahan: tak akan ada lagi kemandirian dan kearifan lokal. Tulisan ini utamanya bertujuan untuk sekedar menjadi arsip bagi salah satu dari berbagai kearifan tradisi islam jawa yang terancam musnah, sekaligus mengajak kita merenungkan kembali relasi budaya dan agama macam apa yang seharusnya kita bentuk demi terciptanya masyarakat yang mandiri dan demokratis.
Semua rangkaian acara ruwahan ini bertolak dari keimanan pada Tuhan agar mereka yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) dan mengingat leluhur yang melahirkan kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana), seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran (ziarah kubur) di bulan Ruwah. Ini adalah pengejawahtahan dari hadis yang mengatakan bahwa satu dari amal yang tidak putus ketika orang telah meninggal adalah doa anak yang saleh. Adapun acara ritus bersih kampung, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: meugang) adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga sanak-saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.
Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Bahkan barangkali tradisi megengan inilah yang kemudian menciptakan pasar kaget ruwahan di kota-kota santri di Jawa seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus. Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih dewasa, dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.
Tak heran dahulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu. Pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan agar mereka dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. Tradisi ritus ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Ramadhan.
Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman ke-Islaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan. Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar yang biasanya setelah shalat Dhuhur atau Ashar dengan dilanjutkan slametan bersama di langgar atau masjid setempat.
Ritual slametan, kenduren, dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, ritus ini mendistribusikan rezeki dari perkotaan tempat mereka bekerja ke kota-kota kelahiran mereka, bahkan ke kampung-kampung di Jawa. Yang terakhir ritus-ritus ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah ritus yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menutup ritual puasa Ramadhan di Bulan Syawal nanti.
Wacana puritanisme (ingat tidak hanya Islam!) yang memandang ruwahan sebagai tradisi yang penuh semangat TBC dan berubahnya gaya hidup modern kapitalistik lambat-laun telah merubah wajah dan watak spirit tradisi ruwahan ini. Tidak hanya di Jawa, tradisi ruwahan yang dikenal di dunia Melayu Nusantara ini juga semakin luntur nilai-nilai kearifan lokalnya. Apalagi penyimpangan perilaku penghayat tradisi ini juga mulai terasa setelah kebutuhan untuk ritual ruwahan jatuh ke tempat kedua setelah berbelanja untuk slametan atau kenduren menjadi lebih utama sehingga harus berhutang. Satu poin fatal yang sering dijadikan alasan atas ketidak-beresan tradisi ini oleh kaum puritan dan modernis. Meski pada umumnya hal ini dikarenakan wacana ruwahan hanya diukur dari tradisi Islam Puritan dengan segala dakwaan otensitas dan kesakralan ajaran Islamnya. Ditambah lagi, wacana tersebut dikisruhkan dengan gaya hidup yang meng-komodifikasikan ritual megengan dan pasar kaget ruwahan. Akankah tradisi ruwahan Jawa akan dilupakan dan punah? Sejarah yang akan menjadi saksinya, namun paling tidak penulis telah mengarsipkannya di artikel ini bagi generasi Jawa yang akan datang.
Ary Budiyanto, pemerhati Budaya Islam Jawa. Mahasiswa S3 Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)-UGM, Yogyakarta. Staf Riset PSP UGM.
Tuesday, June 5, 2012
Penjuale Kurang Well
Siang tadi saya muter-muter ke sejumlah toko teknik dan toko bangunan, guna membeli kebutuhan perbaikan dan kelengkapan lab,. intinya attitude penjual sekarang udah kurang nyenengke jowone, lha udah ga bilang terima kasih setelah kita ngasih uang, mukanya juga kurang well.. parah, kita tu datang bawa duit buat mereka.. senyum kek, disambut dengan gembira kek.., okelah kita juga butuh barang yang kita cari, setidaknya hargailah kita udah mampir ke toko nya.. cino-cino..
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)