Thursday, June 21, 2012

Kekalahan Tradisi Ruwahan

Adakah generasi muda Jawa kini yang tahu ruwahan? Jika ditanya tentang ruwahan generasi muslim Jawa banyak yang tahu, namun sering dijawab dengan “tapi” itu adalah tradisi Jawa sinkretis, bahkan tidak Islami. Tradisi ini hanya hidup di pedesaan yang masih kental tradisinya dan sedikit orang-orang tua yang masih menganggap ruwahan adalah tradisi bukan lagi bagian dari ritual ke-Islamannya. Padahal ruwahan adalah sebuah hasil “kejeniusan” orang Jawa dahulu kala dalam menafsirkan ajaran Islam.


Kini wacana purifikasi ke-Islaman ala Arab Saudi modern telah mewabah, melabeli semua hal yang dianggap tidak ke-Arab-an sebagai bidah. Perlahan namun pasti Islam Arab modern itu telah mengalahkan tradisi lokal dan satu persatu Islam kultural menuju kepunahan: tak akan ada lagi kemandirian dan kearifan lokal. Tulisan ini utamanya bertujuan untuk sekedar menjadi arsip bagi salah satu dari berbagai kearifan tradisi islam jawa yang terancam musnah, sekaligus mengajak kita merenungkan kembali relasi budaya dan agama macam apa yang seharusnya kita bentuk demi terciptanya masyarakat yang mandiri dan demokratis.

Semua rangkaian acara ruwahan ini bertolak dari keimanan pada Tuhan agar mereka yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) dan mengingat leluhur yang melahirkan kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana), seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran (ziarah kubur) di bulan Ruwah. Ini adalah pengejawahtahan dari hadis yang mengatakan bahwa satu dari amal yang tidak putus ketika orang telah meninggal adalah doa anak yang saleh. Adapun acara ritus bersih kampung, slametan, hingga kenduri serta megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: meugang) adalah manifestasi dari praktik doa bagi semua keluarga sanak-saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.

Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Bahkan barangkali tradisi megengan inilah yang kemudian menciptakan pasar kaget ruwahan di kota-kota santri di Jawa seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus. Biasanya isi hantaran tradisi megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih dewasa, dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.

Tak heran dahulu tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Sementara itu, pasar-pasar kagetan di bulan Ruwah ini biasanya hanya berselang satu minggu. Pada mulanya pasar kagetan ini utamanya diperuntukkan agar mereka dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. Tradisi ritus ruwahan ini ditutup dengan acara padusan biasanya dilakukan setelah Dhuhur atau Ashar untuk membersihkan diri lahir batin memasuki bulan Ramadhan.

Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman ke-Islaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan. Hal pertama yang dilakukan oleh Rosul adalah membangun masjid, ini dimaknai dan dipraktikkan oleh orang Jawa dengan mudik untuk nyadran atau nyekar yang biasanya setelah shalat Dhuhur atau Ashar dengan dilanjutkan slametan bersama di langgar atau masjid setempat.

Ritual slametan, kenduren, dan megengan di bulan Ruwah ini juga telah membangun pasar perekonomian setempat, ritus ini mendistribusikan rezeki dari perkotaan tempat mereka bekerja ke kota-kota kelahiran mereka, bahkan ke kampung-kampung di Jawa. Yang terakhir ritus-ritus ruwahan itu sendiri telah memperat rasa persaudaraan antara kaum mereka yang di kampung (Anshar) dan mereka yang mudik (Muhajirin). Sebuah ritus yang akan diulang kembali oleh orang-orang Islam Jawa saat menutup ritual puasa Ramadhan di Bulan Syawal nanti.

Wacana puritanisme (ingat tidak hanya Islam!) yang memandang ruwahan sebagai tradisi yang penuh semangat TBC dan berubahnya gaya hidup modern kapitalistik lambat-laun telah merubah wajah dan watak spirit tradisi ruwahan ini. Tidak hanya di Jawa, tradisi ruwahan yang dikenal di dunia Melayu Nusantara ini juga semakin luntur nilai-nilai kearifan lokalnya. Apalagi penyimpangan perilaku penghayat tradisi ini juga mulai terasa setelah kebutuhan untuk ritual ruwahan jatuh ke tempat kedua setelah berbelanja untuk slametan atau kenduren menjadi lebih utama sehingga harus berhutang. Satu poin fatal yang sering dijadikan alasan atas ketidak-beresan tradisi ini oleh kaum puritan dan modernis. Meski pada umumnya hal ini dikarenakan wacana ruwahan hanya diukur dari tradisi Islam Puritan dengan segala dakwaan otensitas dan kesakralan ajaran Islamnya. Ditambah lagi, wacana tersebut dikisruhkan dengan gaya hidup yang meng-komodifikasikan ritual megengan dan pasar kaget ruwahan. Akankah tradisi ruwahan Jawa akan dilupakan dan punah? Sejarah yang akan menjadi saksinya, namun paling tidak penulis telah mengarsipkannya di artikel ini bagi generasi Jawa yang akan datang.
Ary Budiyanto, pemerhati Budaya Islam Jawa. Mahasiswa S3 Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)-UGM, Yogyakarta. Staf Riset PSP UGM.

No comments :